A little story.

One night,the moon said to me, "If he makes you cry, why don't you leave him?" I paused for a while and then I look back to the moon, and I said, "Moon, would you leave your sky?"

Sabtu, 01 Juli 2017

Dream

Mimpi.
Beberapa orang mengatakan, bermimpilah yang tinggi setinggi langit, kalau bisa lebih tinggi lagi dari langit. Tapi, kemudian ada saja yang membantahnya, tapi ingat diatas langit masih ada langit lagi. Lalu, ada lagi yang mengatakan hal berbeda, bangunlah dari tidurmu itu dan wujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Banyak hal yang berbicara tentang mimpi.
Mimpi terkadang dikaitkan dengan cita-cita seseorang; terkadang pula dikaitkan dengan sebuah bayangan semu atau klise yang hadir ketika tidur, yang sering kita sebut sebagai bunga tidur. Bunga tidur masing-masing orang berbeda satu sama lain. Mimpi yang kita alami, seringkali dikaitkan dengan alam bawah sadar kita. Ketika kita merindukan seseorang, seringkali orang yang kita rindukan itu bisa muncul menjadi bunga tidur. Tetapi, mimpi juga bisa memiliki suatu arti dibaliknya.
Ketika terbangun di pagi hari seringkali kita tidak akan mengingat mimpi kita. Selama dua puluh tahun lebih hidupku, beberapa mimpiku masih bisa aku ingat sampai beberapa hari kemudian, yang lalu tiba-tiba tidak bisa aku ingat lagi karena sudah mulai tertumpuk oleh hal-hal lain di dalam ingatanku.
Bagiku, mimpiku – yang memang kebanyakan memimpikan orang-orang yang aku cintai, seperti kedua orang tuaku, tanteku, teman-temanku, dan laki-laki yang aku cintai – yang menyimpan memoriku. Seringkali, ketika aku merindukan seseorang hingga tanpa sadar, rindu itu sudah masuk ke dalam alam bawah sadarku, aku akan memimpikan orang tersebut.
Ketika terbangun dari mimpi itu, aku memang masih bisa mengingat mimpi itu, tapi rasa rindu itu perlahan-lahan mulai berkurang dan tidak terlalu menyakitkan seperti sebelumnya. Tapi, karena aku masih mampu untuk mengingat keseluruhan mimpi itu, membuatku sering terngiang-ngiang dan terpikirkan terus-terusan.
Ingatan tentang mimpi itu mampu merecoki hariku – bukan, merecoki pikiranku yang kemudian mengganggu hari-hariku, maskudnya. Semuanya menjadi tidak berjalan dengan baik. Aku berjalan di jalan yang mulus saja bisa tiba-tiba kesandung, sampai lenganku harus ditahan oleh temanku, “Lagi sleepwalking ya?”ledek temanku yang kemudian aku hadiahi jitakan detik selanjutnya. Begitulah. Setiap kali otakku sedang tidak sinkron dengan keadaan, teman-temanku hanya mengatakan aku sedang sleepwalking jadi tidak usah dihiraukan.
Aku bersyukur memiliki teman-temanku yang meskipun mengatakan aku sedang sleepwalking dan bukannya mengatakanku sedang galau – sebutan anak zaman sekarang kalau sedang banyak pikiran, mungkin – tidak pernah mendesakku untuk bercerita apapun itu yang membuatku seperti sedang sleepwalking, memang mereka sering bertanya sekali “Kenapa?” hanya dengan satu kata tanya itu saja. Ketika aku menjawab dengan senyum dan menggeleng, mereka mengerti kalau aku memang sedang tidak ingin membicarakan hal tersebut.
Setelah dipikir-pikir, aku lebih bersyukur disebut sleepwalking atau sedang galau, daripada disebut zombie. Well, as you know guys, zombie itu mayat hidup. Kalau sampai mereka menyebutku zombie, mungkin mereka harus menginap di klinik kampus seharian penuh untuk mengompres kepala mereka karena aku jitak berkali-kali hingga memar, bukan, benjol maksudnya.
Aku juga menganggap seseorang itu sudah sangat dekat denganku ketika orang tersebut sudah masuk ke mimpiku. Mungkin kalian akan menganggap itu aneh. Tidak apa-apa. Anggapan setiap orang kan berbeda-beda, aku bisa maklum.
Tapi, ini cerita tentang seorang perempuan yang memiliki bunga tidur mengenai seseorang yang – bisa dikatakan – ia rindukan.
Kau tahu, rindu itu juga bisa menyakitkan. Menyakitkan ketika kau merindukan seseorang dan kau tidak bisa mengatakannya pada orang yang kau rindukan.

Suara detik jam dindingku menggema hingga ke sudut-sudut kamar.
Menghantarkan cahaya matahari yang masih temaram menyusup melalui celah-celah gorden jendelaku yang tidak tertutup dengan sempurna. Aku menarik sedikit ujung bedcover hingga menutupi daguku, sesaat sebelum jam beker di side table tempat tidurku berdering lembut. Ujung jariku menyentuh tombol on-off di bagian belakang badan jam.
Aku mengambil posisi duduk tegak. Masih dengan mata yang terpejam, berusaha mengembalikan nyawaku yang masih belum berkumpul dengan sempurna. Nafasku seiring dengan suara pergerakan detik jam dindingku yang masih menggema. Kedua kelopak mataku mulai terbuka perlahan.
Untuk kesekian kalinya, bola mataku menangkap pemandangan yang sama setiap paginya. Beranda kamar apartemen, dengan gorden jendela tipis yang berkibar halus karena tertiup angin, bersama beberapa burung gereja yang senang mampir bertengger dan bercengkerama di pagar beranda kamarku beberapa menit, sebelum akhirnya terbang pergi ketika aku menggeser pintu penghubung. Padahal aku sudah berusaha sehalus mungkin membukanya. Sepertinya pendengaran mereka lebih tajam.
Sambil memakai mantel kamar, aku keluar dari  dalam kamar menuju dapur untuk membuat susu coklat panas; salah satu kebiasaan setiap pagiku dari awal kuliah, kemudian duduk di ruang nonton untuk mendengarkan berita pagi. Bel pintu berdering halus. Aku bergerak mendekat ke monitor untuk melihat siapa yang datang. Ibu yang biasa membereskan apartemenku. Aku membukakan pintu baginya yang kemudian memberiku ucapan selamat pagi dengan lembut, ”Selamat pagi, Senja. Kunci apartemen Senja tertinggal di rumah Ibu, jadi Ibu terpaksa menekan bel. Maaf ya kalau Ibu membangunkan Senja.”katanya penuh dengan penyesalan.
Aku tersenyum maklum. “Selamat pagi, Bu.”jawabku setelah berhasil menelan susu di dalam mulutku. “Tidak apa-apa. Aku memang sudah bangun dari tadi. Aku bahkan sampai sudah mengaduk susu sendiri.” Akhirnya beliau ikut tersenyum, dan mengangguk pelan.
Setelah memakai sandal ruangan yang biasanya beliau gunakan selama berada di apartemenku, dan berjalan menuju dapur, beliau bertanya “Mau makan apa hari ini?”tanyanya sambil membuka kulkas.
“Terserah Ibu aja mau masak apa.”kataku sambil duduk di kursi bar.
“Baiklah, nanti saya buatkan ayam rica-rica untuk makan siangnya. Untuk makan malamnya mau saya buatkan bihun kuah?”tanya beliau sambil menatapku dengan salah satu tangannya mengangkat bungkus bihun yang ia tarik dari pelosok kulkas.
“Boleh. Nanti kuahnya tinggal saya panaskan lagi, kalau Ibu menyimpannya di kulkas.”
Beliau tau aku tidak pernah sarapan. Bukan tidak pernah, perutku tidak terbiasa dengan mengolah makan saat pagi-pagi. Kalau aku sedang rajin, aku akan membuat sereal. Kalau aku sedang malas dan atau serealnya sedang habis - untuk saat ini dua hal itu terjadi bersamaan – aku hanya akan minum susu. Jadi, susu coklat tidak pernah boleh menghilang dari dalam toplesnya alias aku harus sering mengisi ulang, karena aku sering minum susu.
Setiap pagi, beliau akan mematikan seluruh pendingin ruangan di apartemenku dan menggantinya dengan membuka semua jalur udara keluar masuk – jendela dan pintu beranda – untuk mengganti udara di dalam ruangan. Salah satu keuntungan berada di lantai lumayan di atas itu memberikan akses angin yang bisa dibilang lumayan banyak hilir mudik.
Setiap pagi beliau akan bekerja satu jam dulu, untuk beres-beres, dan yang terpenting untuk memasak. Kalau ada cucian dan baju yang perlu disetrika, ia akan datang lagi siang harinya. Karena, bukan hanya di tempatku saja beliau bekerja. Jadi, beliau harus pintar-pintar membagi waktu. Biasanya beliau ke tempatku untuk melanjutkan pekerjaannya saat siang, ketika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya di tempat lain saat pagi.
“Saya mau siap-siap dulu ya, Bu.”kataku sambil meletakkan gelas kosong di dalam mesin cuci piring.
“Iya.”jawabnya singkat.
Aku berjalan dengan santai menuju kamarku sambil menarik kedua kakiku yang rasanya malas sekali untuk berjalan. Angin yang semilir bergantian memasuki ruang- ruang kosong di dalam kamarku, ketika aku menggeser pintu lemari.
Jarum detik terus bergerak berputar di satu poros, suara gerakannya terus menggema di kamarku. Jarum detik itu tidak pernah menyadari bahwa ia berputar terus-menerus di satu poros yang sama; terus menerus berputar di tempat yang sama. Mungkin saja ia tahu, tapi ia tidak mengeluh dan berhenti begitu saja. Aku senang mendengar suara jarum detik yang bergerak, karena aku merasa memiliki kesamaan dengannya. Terus menerus berputar di satu poros yang sama, tanpa pernah mengeluh.
Karena, aku tidak sanggup untuk berhenti begitu saja.
Aku mengganti sepatu Converse hitamku dan meletakannya di dalam lemari sepatu dekat pintu masuk, kemudian memakai sandal sebelum menaiki dua anak tangga, berjalan menuju dapur untuk melihat masakan Ibu. Aku mengangkat tudung saji dan mendapati ayam rica-rica dan lauk lainnya. Di tudung saji itu aku mengambil Post-It yang ditempelkan Ibu.
Senja, nasinya sudah Ibu siapkan di rice cooker ya.
Jangan sampai lupa makan ya.
Ibu.
Post-It berwarna pink itu aku tempelkan kembali ke tudung saji sambil tersenyum. Sebelum mengambil nasi di rice cooker, aku meletakkan tas yang dari tadi berada di bahuku di atas kursi.
Aku sebenarnya bukan orang yang senang makan sendirian. Biasanya aku akan pergi makan ke restoran cepat saji atau makan di restoran biasa sambil mengajak temanku. Entah mengapa hari ini aku sedang ingin makan di apartemen, maka dari itu aku mau-mau saja dimasakin makanan oleh Ibu. Biasanya aku akan menolak dengan halus.
Saat aku hendak memindahkan ayam rica-rica ke piring nasiku, aku mendengar ada suara-suara yang tidak jelas datang dari kamarku. Bulu kudukku mulai meremang. Masa iya di apartemen bisa ada pencuri? Selama hampir 4 tahun aku tinggal disini, tidak pernah aku mendengar ada kejadian apartemen yang kecurian, kataku dalam hati sambil berjalan dengan pelan menuju kamarku.
Password apartemenku pun hanya aku yang tahu. Ibu saja kalau datang aku yang membukakan pintu. Bukannya bermaksud sombong, tapi passwordku bukan kata sandi yang mudah ditebak. Semakin aku mendekati pintu kamarku, aku semakin yakin bahwa ada seseorang di dalam kamarku. Mataku mencari-cari alat yang paling bisa dijadikan senjata untuk melawan, hingga akhirnya aku menemukan gagang sapu tidak jauh dariku.
Sambil memegang gagang sapu itu dengan kuat-kuat, aku mendorong pintu kamarku dengan pelan-pelan. hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar. “Halo, Senja.” Kalimat pertama yang aku dengar itu langsung membuatku refleks menjatuhkan gagang sapu yang sedang aku genggam. Aku merasa seperti setengah nyawaku tiba-tiba melayang. Aku tidak mampu untuk berkedip, pun bernafas.
Sementara orang yang mengucapkan salam itu tengah tersenyum kepadaku.
Belum sempat aku memaksa sudut-sudut bibirku untuk terangkat, orang dihadapanku tiba-tiba membuka kedua lengannya dengan lebar. Mengundangku untuk masuk ke dalam pelukannya. Saat itu juga nyawaku yang setengah langsung kembali ke badanku, karena beberapa detik kemudian aku sudah menghamburkan tubuhku ke dalam pelukannya.
Kedua lenganku memeluknya begitu erat. Ia mengusap-usap rambutku dengan lembut, sementara aku membenamkan kepalaku di lekukan lehernya. Menghirup sebanyak-banyak mungkin wanginya. “Aku tadi sempat melihat ada ayam rica-rica di meja makanmu. Kau tidak mau mengundangku untuk makan siang?”tanyanya dengan bisikan lembut di telingaku.
Aku mengulum senyumku dan dengan terpaksa menarik tubuhku dari pelukannya. “Ayo makan. Aku sudah lapar.”kataku sambil menarik lengannya. Hal yang tidak kusangka, tanganku yang tengah menarik lengannya, ia pindahkan ke dalam genggamannya. Aku menoleh sebentar dan mendapatinya tersenyum ke arahku.
“Ayo.”jawabnya.
Rasa-rasanya aku seperti memiliki banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Tapi, ketika sudah bersama seperti ini, tiba-tiba saja pertanyaan itu menguap begitu saja.

Aku bahkan sampai tidak sanggup untuk berkedip setiap kali aku menatap laki-laki di hadapanku. Aku takut kalau aku berkedip, ia akan menghilang dari pandanganku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Entah sudah berapa malam yang aku hitung hanya untuk bertemu dengannya.
“Ayo dimakan. Bukannya ngeliatin aku terus.”katanya sambil menyentuh punggung tanganku.
Aku seperti tersadarkan, sambil mengerjap-ngerjapkan mataku, aku tersenyum lebar. “Iya.”kataku sambil mulai menyuap makanan yang ada di hadapanku.
Ia, laki-laki yang aku rindukan setiap malam; laki-laki yang ingin aku temui setiap harinya; laki-laki yang menemaniku setiap kali ia memiliki kesempatan; laki-laki yang mampu menghangatkan malamku yang dingin. Lalu, ketika ia pergi, tempat yang ia tinggalkan terasa dingin dan terasa begitu menyedihkan.
Kami duduk santai di beranda kecil di depan kamarku yang menghadap langsung ke pantai. Salah satu kelebihan memiliki kamar yang menghadap ke arah pantai, yaitu ini. Bisa dengan mudahnya memandangi pantai setiap saat kita ingin. Matahari pelan-pelan mulai turun diujung pantai, memberikan semburat jingga di langit. Awan-awan putih mulai berganti warna menjadi oranye. Salah satu waktu yang tidak pernah aku lewatkan setiap harinya. 
Dan ia tahu itu.
Maka dariitu ketika kami sudah selesai makan, ia langsung menarik tanganku ke dalam genggamannya dan mengajakku ke beranda kamar. “Senja.”gumamnya lirih. Aku hanya diam. Antara ia menyebut namaku atau ia sedang menyebut apa yang sedang ia lihat.
“Kau tidak pernah bertanya pada orang tuamu, kenapa kau dinamai senja?” Tiba-tiba ia memberikanku pertanyaan untuk memecah keheningan.
Aku tersenyum menatap langit oranye diatas kami. “Pernah. Mereka bilang, kalau aku lahir tepat di senja hari. Papa dan Mama belum memiliki nama yang tepat dari sekian calon nama untukku, lalu Mama menggumam kata ‘senja’ saat menerimaku dari gendongan perawat. Papa langsung menyebut namaku, Senja.”jawabku.
Aku menarik nafas sebelum melanjutkan, “Mama senang sekali dengan senja. Lukisan-lukisan beliau kebanyakan berlatarkan senja hari. Bagi Mama, aku adalah senjanya. Senja yang bisa ia miliki untuk dirinya sendiri dan bersama Papa.” Aku menoleh menatap laki-laki di sampingku yang sedang menatap ke kejauhan. “Sementara kau adalah senjaku.”kataku, membuatnya langsung menoleh ke arahku.
“Kenapa?”
“Karena, aku tidak bisa memilikimu. Karena kau terlalu indah untuk aku miliki seorang. Kalau aku memaksakan diri untuk memilikimu, akan banyak orang yang terluka. Padahal senja itu tidak mungkin menyakiti orang lain.” Aku tidak lagi menatapnya, melainkan kembali menatap langit.
Sebuah genggaman hangat menangkup tanganku yang berada dipangkuan. Saat aku menatapnya, ia sedang tersenyum ke arahku. Genggaman itu seperti memberikan aku perasaan aman, yang membuatku mampu berpikir bahwa besok akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ya, memang semudah itu menjalani hari-hariku bersama dengannya.
Tetapi, tidak semudah itu untuk melepaskan kepergiannya.

Jam bekerku kembali berdering. Dengan satu pergerakan tangan, aku langsung bisa meraih bekerku dan menekan tombol off di bagian belakang benda itu. Suara siulan burung-burung yang bertengger manis di pagar pembatas balkon kamarku menyusup masuk melalui celah pintu geserku, sekaligus mengibarkan gorden putih dengan pelan.
Aku memutar tubuhku dan tanganku terulur ke sampingku.
Tunggu.
Ada yang hilang.
Aku langsung membuka mataku dengan cepat.
Begitu menyadari apa yang hilang di sampingku, aku langsung terbangun. Mataku mencari jejak keberadaannya. Di dalam kamarku ini bahkan tidak ada jejak keberadaannya. Aku langsung menyibakkan selimutku dan dengan terburu-buru turun dari tempat tidur, berjalan cepat menuju luar kamarku, bahkan aku sampai tidak sempat memakai sandal kamarku.
Hening. Tidak ada orang lain di sini selain aku.
Pintu apartemenku bergerak terbuka, kemudian muncul sesosok dari baliknya.
Sayangnya bukan sosok yang aku tunggu.
“Selamat siang, Senja.”sapa ibu pengurus apartemenku. Beliau yang setiap pagi datang – tunggu, siang? Ini sudah siang? Aku menolehkan kepalaku ke arah jam dinding yang berada diatas tv. Detik berikutnya aku langsung melongo. Astaga, ini sudah jam 2 siang? Ini bahkan sudah lewat dari setengah hari aku tidur. Sebentar lagi aku bisa tanding lama tidur dengan kelelawar.
“I-ibu baru datang siang ini?”tanyaku sambil mengekori beliau ke ruang belakang, tempat baju-baju bersih yang minta dirapihkan dengan setrikaan.
Ibu menoleh kearahku dengan dua alis yang hampir menyatu di tengah-tengah keningnya, beliau bingung mendengar pertanyaanku. Kemudian dia tertawa. “Tidak. Ini ibu datang untuk menyetrika. Ibu lupa tadi pagi bilang ke Senja, kalau siang ibu mau datang lagi. Untung Senja udah pulang.”
Pulang? Pulang darimana? Aku kebingungan. Aku baru pulang dari time traveler apa? Bukannya aku bertemu dengan ibu kemarin pagi? Jangan-jangan tadi pagi aku bertemu dengan ibu saat nyawaku belum kekumpul semua.
“Jadi, tadi pagi Ibu sudah datang?”tanyaku.
“Sudah. Kalau ibu belum datang, Senja belum makan pasti.”jawabnya kemudian mulai menyiapkan perlengkapan menyetrikanya. Aku berjalan dengan lemas menuju kamarku. Kebingungan masih menyita seluruh pikiranku. Dia bahkan tidak meninggalkan pesan sebelum pergi.
Aku langsung membuka ponselku. Kenapa tidak dari tadi kau cek ponselmu, Senja, aku merutuki kebodohanku dalam hati.
Kosong. Tidak ada pesan darinya sama sekali.  Aku meletakkan kembali ponselku di atas tempat tidur dengan lemas. Dia pergi lagi, tanpa pamit. Aku merasa seperti baru saja bertemu dengannya dan sekarang aku sudah ditinggalkan lagi. Dia bahkan tidak mau repot-repot sekadar meninggalkan pesan pamit untukku.
Aku melanjutkan hari ini dengan setengah hati.
Duduk di beranda sambil memegang cangkir tehku yang masih mengepulkan uap panasnya. Pelan-pelan langit mulai berganti warna seiring waktu berputar. Angin hawa musim hujan mulai berdesir di atas kulitku dan membawa pergi kepulan uap panas.  Rasanya menenangkan.
Seandainya semudah itu membawa pergi kenangan. Seandainya semudah itu melepaskan seseorang yang sudah jelas sekali tidak bisa kita harapkan, tapi bodohnya tangan kita masih terus berusaha mencekal keberadaannya. Bukan hanya kau yang sakit, yang dicekal pun sudah tentu tidak akan senang, apalagi bahagia. Seandainya semudah itu membukakan pintu bagi kedatangan orang lain. Seandainya semudah itu hatimu sembuh setelah dilukai berkali-kali. Meski luka itu hanya kecil, tapi jika terjadi karena orang yang aku cintai, luka itu bahkan rasanya lebih sakit berpuluh-puluh kali lipat dari yang seharusnya.
Aku memang seharusnya sudah melepaskannya, tapi bukankah angin bisa saja datang kembali? Dan aku selalu bisa menerimanya saat datang kembali. Banyak yang mencintainya, siapa yang tidak bisa jatuh cinta padanya? Lelaki yang mudah sekali memberikan senyuman pada setiap orang, lelaki yang sanggup menenangkan badai yang akan menerjangnya hanya dengan satu pelukan hangat. Ya, dia berani memeluk badai yang sedang mengamuk. Bahkan Ibu-ku sendiri bisa tergila-gila padanya. Kalian tahu apa yang Ibu katakan sesaat setelah bertemu dengannya di kampung halamanku, ketika ia memaksaku untuk memperbolehkannya ikut aku pulang ke rumah orang tuaku? “Kalau bukan dia mantu Ibu, mending kau jadi biarawati saja.” Ayah sampai tertawa dengan terbahak-bahak mendengar kalimat Ibu. Karena beliau yakin, Ibu sebenarnya juga tidak rela jika anak semata wayangnya menjadi biarawati. Aku pun mau tidak mau ikut tertawa, sementara Ibu menggerutu karena ditertawakan oleh kami.
Sayangnya, Ibu tidak tahu, siapa yang memilikinya seutuhnya.
Perempuan yang tidak akan pernah aku bisa tandingi.
Siapa yang bisa menandingi bayangan? Siapa yang bisa menandingi seseorang yang sudah tinggal di dalam kenangan? Aku saja tidak bisa. Perempuan dalam hidupnya banyak yang silih berganti. Tapi, di kenangannya hanya satu bayangan perempuan saja.
Perempuan yang telah tiada bertahun-tahun lalu, karena harus kalah pada penyakitnya. Saat itu pertama kalinya, aku melihatnya menitikkan air mata. Sekuat-kuatnya dirinya, ia tidak akan pernah mau menitikkan air matanya di depan siapa pun. Hari itu, ia harus bertekuk lutut di depan kesedihannya; di depan kebahagiaannya yang sudah tidur dengan tenang dan tidak perlu merasakan sakit apapun lagi.
Aku memeluknya dengan erat. Saat itu yang aku tahu, ia pasti sangat membutuhkan pelukan. Ia menangis dalam pelukanku. Tidak ada suara, yang ada hanya bahunya yang terguncang. Ia tidak berusaha menghapus jejak-jejak air matanya. Ia membiarkan jejak-jejak itu kering dengan sendirinya, dia berharap dengan begitu ia tidak akan menghapus jejak perempuannya juga.
Aku menyesap teh yang kini sudah mulai menghangat.
Aku hanya rumah singgah baginya. Rumah sesungguhnya sudah tidak ada lagi baginya. Rumah sesungguhnya sudah runtuh bersamaan dengan sedihnya bertahun-tahun lalu. Itu kesedihan pertama dan terakhir kalinya ia tunjukkan padaku. Bahkan ketika menonton film sedih pun, ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi sedih, bahkan aku sampai harus menghapus air mataku dengan tisu. Ia akan tertawa melihatku yang menangis seperti  anak kecil yang ditinggal pergi orang tuanya.
Ya, ia sudah membekukan perasaan sedihnya. Aku memahami sekali hal itu. Setiap kali ia bersedih, yang akan ia ingat hanyalah saat-saat kepergian perempuannya.
Aku malah jadi merindukan keberadaannya sekarang.
Aku bisa merasakan hembusan angin pagi yang sejuk melewati celah pintu penghubung menuju balkon kamarku. Menukar udara di dalam kamarku dengan udara yang baru. Matahari masih malu-malu untuk bersinar, karena ia terus memilih untuk bersembunyi di balik awan berwarna abu-abu. Jam bekerku belum berbunyi, karena ini memang belum waktu baginya untuk berdering.
Sebuah tangan menyusup masuk ke dalam selimut dan menarikku ke dalam pelukannya lebih dalam lagi. Aku mengerang pelan. “Hhmm.” Kemudian menggeliat dengan nyaman, menyandarkan bahuku. “Selamat pagi.”bisiknya dengan halus.
“Iya, selamat pagi. Aku mau tidur lagi.”kataku masih setengah sadar.
WAIT! WHO’S THAT?
Mataku langsung terbuka lebar dan tubuhku membeku. Aku bisa mendengar suara tertawa meledek di belakangku. Sepertinya aku kenal. Aku langsung mengambil posisi duduk di atas tempat tidurku dan mendapati dirinya disana. Di atas tempat tidurku juga. Sedang menopang kepalanya dengan satu tangannya di atas bantal. Ia sedang tertawa melihatku yang terkejut.
“Sejak kapan kau ada disini?” Aku bertanya dengan bingung.
“Sejak kau mulai bergumam tidak jelas.”katanya kemudian mengedikkan bahu.
Aku pasti mengigau lagi. Aku kemudian bertanya sambil memicingkan mataku dengan curiga, “Pasti waktu aku sedang mengigau, kau mengerjaiku, ya?” Ia kembali tertawa mendengar kecurigaanku pada sifat usilnya.
“Tidak. Aku hanya mendengarkan kau bergumam tidak jelas. Lalu, waktu aku ucapkan selamat pagi, kau membalasnya dengan jelas. Aku padahal hanya sedang mengetesmu.”jawabnya.
“Iya, itu juga bagian dari mengerjaiku!” Aku membalasnya dengan suara datar.
“Sini.” Ia membuka kedua lengannya lebar-lebar, menantiku untuk merebahkan telingaku tepat di atas jantungnya. Ada yang aneh, gumamku. Tapi, usapan lembut di rambutku, sanggup menghilangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyerang perasaanku.
“Begini kan lebih enak.”gumamnya sambil membetulkan posisi selimutku yang tersingkap.
Aku tersenyum lebar, kemudian memeluknya dengan erat. Sangat erat.
“Astaga, Senja. Aku tidak bisa bernafas kalau kau memelukku seperti ini.” Ia menepuk lenganku dengan pelan dan lembut.
“Tidak apa-apa. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kau.” Aku terkekeh. “Aku rindu.”bisikku dengan sangat halus. Berharap ia tidak mendengarku. Harapan yang sia-sia sebenarnya, karena ia pasti mendengarku, karena kemudian ia balas memelukku dengan erat. Seakan-akan sedang berusaha menenggelamkanku dalam pelukannya.
“Sekarang kau yang tidak bisa bernafas karena aku memeluk kau dengan erat!”ledeknya sambil tertawa. Aku bisa merasakan badannya terguncang saat ia sedang tertawa. Mau tidak mau aku ikut tertawa.
“Kau kemana saja?”tanyaku saat aku sudah kembali ke posisiku semula. Berhadapan dengannya, sementara tangaku berada di atas jantungnya.
“Aku tidak kemana-mana, Senja. Aku selalu ada untuk kau. Kau tidak menyadari itu?” Ia menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga, kemudian mengusap pipiku dengan kasih sayang.
“Tidak.” Aku menjawab dengan polos, membuatnya tersenyum tipis.
“Nanti ada saatnya kau akan menyadari itu.”
“Kapan?”
“Ya nanti, kan aku bilang ada saatnya.”
“Ah, ada saatnya menurut versi kau, itu pasti lama sekali. Nanti aku sudah keburu tua dan punya cucu.”ledekku.
Ia tertawa. “Tidak. Kali ini tidak akan lama.” Kemudian ia menatap ke kedalaman mataku, hingga aku tidak bisa memalingkan wajahku. Meskipun begitu aku memang tidak mau memalingkan wajahku. Keberadaannya adalah candu bagiku. Aku tidak butuh obat-obatan terlarang untuk membuatku kecanduan. Dirinya saja sudah candu bagiku; dirinya itu adalah obat-obatan terlarangku.
Aku mengusap rambut hitamnya dengan lembut.
“Aku rindu, Bumi.” Akhirnya kata itu terlontar dari bibirku.
“Aku tahu, Senja, aku tahu sekali itu.”jawabnya penuh kasih. “Sshh, jangan menangis. Aku ada disini.” Ia menarikku kembali ke pelukannya saat melihat bibirku mulai bergetar pelan menahan tangis kerinduanku, ia menyelipkan kepalaku ke bawah lekukan lehernya, dan dengan lembut mengusap-usap punggungku.
Usapan hangatnya di punggungku membuatku terbuai dan pelan-pelan mataku mulai berat dan akhirnya aku jatuh tertidur.
Sesaat sebelum aku tertidur, aku sempat mendengarnya berbisik pelan. “Aku minta maaf, Senja. Kau harus mulai terbiasa untuk tidak merindukanku lagi. Kau tahu aku sayang padamu. Biar bagaimana pun kau senjaku,” Ia menarik nafas pelan, kemudian melanjutkan, “Aku pamit, Senja.” Lalu, ia mengecup keningku dalam waktu yang lama sekali.
Aku tidak sanggup membalasnya karena saat itu kantukku sedang menarikku lebih dalam lagi hingga aku tidak tahu apakah aku tadi hanya perasaanku saja atau ia memang benar-benar mengucapkannya.
Siulan burung-burung yang saling bersautan memberikan tanda bahwa ini sudah pagi. Jam bekerku berdering halus pagi ini. Aku menekan tombol off dengan mata yang masih terpejam dengan sempurna. Ini sudah seperti rutinitas pagi hariku. Mendengar suara siulan burung dan dengkuran bekerku yang nyaring. Sambil menyelipkan tanganku ke dalam bantal kepalaku yang sejuk, aku melanjutkan tidurku lagi. Karena, ini hari Minggu. Hari bagiku untuk tidur sepuas-puasnya.
Aku tidak mendengar suara pintu kamarku di buka.
Aku tidak mendengar suara gorden kamarku disibakkan.
Aku tidak mendengar suara langkah kaki yang mondar-mandir di kamarku.
Hingga akhirnya, seseorang menepuk lenganku dengan halus, “Senja,”panggilnya, beberapa kali menepuk lenganku.
Kemudian, “Ya ampun! Senja, kau demam!”pekik suara itu dengan terkejut.
Aku hanya bergumam tidak jelas. Tapi, aku tahu itu suara ibu yang biasanya mengurus apartemenku. Beliau memang memiliki kunci sendiri. Aku berikan kunci cadangan padanya untuk berjaga-jaga kalau aku tidak bisa bangun untuk berangkat kuliah pagi, jadi beliau bisa membangunkanku.
Suara ibu? Aku memaksa mataku untuk terbuka, meski hanya sedikit.
“Ibu?”tanyaku dengan serak.
“Badanmu panas sekali, Senja.” Aku melihat beliau berlutut di samping tempat tidurku, supaya bisa berada sejajar dengan kepalaku. Aku bahkan merasa biasa saja. “Ibu buatkan bubur ya, biar bisa minum obat. Nanti ibu kompres juga sekalian. Tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan kalau sudah selesai.” Beliau langsung bangkit berdiri dan berlalu dari kamarku dengan pintu terbuka.
Kenapa ada ibu? Ibu tidak kaget melihat –
Aku yang malah kaget. Tempat tidurku hanya ada aku seorang!
Aku terduduk. Hal itu membuatku kepalaku langsung seperti berputar-putar dengan cepat. “Akh!” Aku memegang kepalaku yang pusing.
“Bumi?” Aku memanggil namanya. Tapi, pemilik nama itu tidak menyahut. Segala kenyataan datang menghantam kepalaku yang masih pusing dalam sekali hantaman.
Ya Tuhan! Aku menutup mulutku yang menganga dengan lebar.
“Bumi,” Aku kembali menggumamkan namanya.
Masih tidak ada yang menyahut.
“Bumi!” Aku meneriakkan namanya dengan kencang. Ibu sampai harus datang dengan tergopoh-gopoh mendengar teriakanku. Ia mendapatiku tengah menangis di atas tempat tidur dengan dua tangan yang menangkup wajahku.
“Senja,” Beliau membawaku ke pelukannya.
“Ibu, Bumi, bu.” Aku merengek seperti anak kecil yang merengek dibelikan mainan pada ibunya. Beliau hanya mengusap rambutku, berusaha menenangkanku. Ia tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku mau Bumi, bu.” Kembali aku merengek dalam tangisku.
“Tidak boleh, Senja. Bumi tidak ada lagi.” Ibu langsung menjatuhkan bom di tengah-tengah tangisku.
“Apa?!” Aku mengangkat kepalaku dari pelukannya. Aku menatapnya dengan mata sembabku, berusaha mencari kebohongan dimatanya. Tapi, aku tidak menemukannya.
“Bohong! Ibu pasti bohong!”kataku dengan wajah merengut dan hampir menangis lagi.
“Ayo ikut Ibu.” Ibu membimbingku berjalan menuju ruang tengah. “Bumi ada di sana.” Dari kejauhan beliau menunjuk sudut ruang tengah yang berada bersebelahan dengan kaca besar, di tengah-tengah meja sudut itu ada sebuah foto berbingkai hitam yang berdiri diantara bunga-bunga segar dan diapit dua buah lilin besar yang apinya bergetar halus, setiap kali ada angin yang berhembus pelan. Aku berjalan menuju meja sudut yang ditunjuk oleh ibu.
Dalam bingkai itu ada wajah seorang laki-laki yang sedang tersenyum lebar. Di bagian bawah foto itu, tertulis dengan tinta hitam, ‘Now you are a happy man because you have met your woman in heaven. May you still be with me who still alive, because of you. May you rest in peace. In loving memory, Bumi.’
Ini sudut yang sering kali aku singgahi, sekadar untuk berdoa baginya, menyalakan lilin, mengganti lilin, mengganti bunganya atau sekadar memandangi fotonya. Dia lelaki yang menyelamatkanku dari kecelakaan mobil beruntun. Kejadian saat itu sangat cepat terjadi. Sedetik lalu ia membuka pintu mobilku dengan cepat, detik selanjutnya aku melihatnya mendorongku keluar dari pintu mobil. Sedetik kemudian, sesaat setelah aku berada di jalan beraspal, mobilnya dihantam dengan keras dari belakang membuat mobil itu ringsek bersama dengan mobil di depannya, di depannya, dan di depannya lagi.
Ia menukar nyawanya untuk nyawaku. Ia menukar kehidupannya untuk kehidupanku. Aku tidak sempat mengucapkan kata perpisahan. Aku tidak sempat pamit padanya. Hingga saat itu seharusnya tiba, aku hanya seseorang yang tidak sanggup melihat petinya yang masih terbuka mulai didoakan, karena sudah saatnya untuk prosesi penutupan peti. Aku pingsan dikala seharusnya aku pamit di depannya untuk terakhir kali.
Aku jatuh terduduk di lantai, dan saat itu lah tangisku kembali terurai.
Ini pertama kalinya bagi ibu melihatku kembali menangis, setelah kepergiannya setahun yang lalu, aku tidak pernah menangis lagi. Ibu yang mengurus apartemenku memang mengenalnya. Bahkan Ibu menganggapnya sudah seperti anaknya sendiri, sama halnya dengan beliau telah menganggap aku sebagai anaknya. Beberapa kali saat kami akan pergi di saat siang hari, kami akan  mengajak ibu untuk ikut kami pergi.
Maka dari itu, pantas saja jika tadi ibu tidak ada kagetnya sama sekali. Karena memang sebenarnya ia tidak ada disini. Ia tidak pernah ada disini. Bumi memang sudah tidak ada lagi disini.
Aku sebenarnya saat itu bukanlah baru pulang dari time traveler seperti yang aku kira, tapi sebenarnya aku bertemu dengannya dalam mimpi. Sama halnya dengan yang baru saja terjadi. Ia baru saja datang singgah ke dalam mimpiku. Alam bawah sadarku tanpa sadar mengundangnya. Ya Tuhan!
Dan sebenarnya ia telah berpamitan melalui mimpiku. Kepergiannya dari mimpiku lah yang membuatku tiba-tiba jatuh demam seperti ini.
Bumi, sekarang aku sadar, bahwa kau memang selalu ada untukku. Kita akan selalu bisa bertemu di kala senja berada di ufuk. Setiap hari kau memang selalu ada untukku. Terima kasih, Bumi.


Fin.

Selasa, 09 Februari 2016

Last Rendezvous

Masa lalu. Waktu yang sudah kita lewati. Suatu masa yang pernah kita alami dan pernah terjadi dalam cerita kehidupan kita. Seringkali, momennya tidak bisa diulangi lagi, tapi seringkali pula orang dari masa lalu itu yang muncul begitu saja di masa kini. Kalau bukan untuk menetap di masa kini bersama dengan kita, berarti datang hanya untuk pergi lagi.
“Aku sedang dalam perjalanan pulang ke Jogja.”
Sebuah pesan aku terima di sore hari yang mendung di hari Jumat.
Jogja belakangan ini cuacanya seperti ABG labil. Pagi hari bisa hujan, tiba-tiba siangnya panas terik, nanti sore sampai malamnya hujan deras. Begitu terus. Tidak ada kejelasan, seperti sebuah hubungan tanpa status.
Aku tersenyum begitu membaca pesan itu dan buru-buru menjawabnya. “Serius? Wah, berarti kita bisa ketemu lagi!”balasku.
Terakhir bertemu denganmu sekitar setengah tahun yang lalu. Cukup lama, bagiku. Tapi, sebelum pertemuan setengah tahun yang lalu itu, aku tidak bertemu denganmu sekitar hampir satu setengah tahun.
Cukup panjang jika harus aku ceritakan awal pertemuan kita. Long short story, kau adalah kakak senior di kampusku, berbeda cukup jauh, 3 tahun. Berhubung lebih tua cukup jauh dariku, sifat membimbingmu membuatku nyaman. Hey, siapa yang tidak nyaman dengan orang yang bisa membimbingmu dan sedikit demi sedikit mengerti tentang dirimu? Tapi, sejalannya waktu, aku diberi petunjuk, kalau ternyata kau sudah menjadi milik orang lain sejak lama. Baiklah, berarti memang tidak ada jalan lagi untuk aku pertahankan.
Kata orang, kalau kita dihadapkan pada dua orang, pilihlah orang yang kedua. Karena, kalau cintamu begitu kuat pada orang yang pertama, kau tidak akan dengan mudahnya berpaling pada orang kedua yang datang. Sejujurnya, itu yang aku alami saat itu. Jadi, kalian pun sudah tahu aku lebih memilih yang mana.
Siapa yang sangka waktu dan semesta begitu pintar berkonspirasi perihal mempertemukan dua orang, entah yang sudah berpisah cukup lama, entah yang sudah menjadi orang asing satu sama lain. Mereka selalu punya caranya masing-masing.
“Aku mau bertemu denganmu juga karena aku ingin minta maaf.”katamu saat sudah duduk berdua dan setelah obrolan panjang lebar yang ngalor-ngidul.
Aku mengerutkan kening sambil menyesap kopiku. Perasaanku tidak enak. “Minta maaf untuk apa?”tanyaku.
Because, I’ve made you hurts a lot. Sekarang, aku baru merasa menyesal, kenapa dulu tidak memperjuangkanmu. Sekarang, pun akhirnya aku pisah dengannya.”kata yang saat ini sedang mati-matian menyembunyikan sedih di wajah.
Aku tersenyum tipis. “Tapi, sejujurnya, aku tidak merasa disakiti. Kalau aku merasa disakiti, kita tidak akan bertemu dalam keadaan baik-baik seperti ini. Bisa saja, aku tidak mau bertemu denganmu lagi sejak dulu.”jawabku dengan santai. Kenapa mendadak jadi serius begini? L
Kau balas tersenyum padaku. “Tetap saja, aku merasa itu salah, maka dari itu aku kembali datang untuk meminta maaf dan untuk menyelesaikan semuanya yang masih tertinggal disini.”
Aku terkekeh pelan. “Kau ini, bicaramu seperti tidak akan bertemu lagi denganku.”
“Memang.”jawabmu dengan pelan, tapi tetap sampai di telingaku.
Kalau aku tidak ingat saat ini sedang dimana, mungkin aku sudah berteriak karena kaget. “Nggak lucu ya! Kenapa udah nggak bakal ketemu aku lagi? Emang udah nggak mau ketemu lagi?” Aku mengeluarkan rentetan pertanyaan padanya.
Lalu, kau menjelaskan kalau sebentar lagi akan resign dari tempat kerja yang sekarang dan pindah kota, orang tua pun akan pindah rumah dan sudah tidak menetap lagi di Jogja. Tapi, untukku itu bukan alasan yang masuk akal. “Pokoknya, kalau sampai tidak akan bertemu lagi denganku, itu berarti karena kau yang memang tidak mau bertemu denganku lagi.”jawabku dengan nada tidak suka.
Laki-laki itu terkekeh. “Tidak, tidak. Tentu saja aku tidak mau tidak bertemu denganmu lagi.”
Tiba-tiba kau menatapku dengan serius. Sungguh, aku semakin tidak enak kalau seperti ini. “Jangan melihatku seperti itu! Aku risih!”gerutuku dengan salah tingkah.
Kau bahkan tidak menggubris kata-kataku barusan, tapi malah berkata, “Bagaimana kalau aku mengajakmu untuk serius?”
Mengajakku se... – WHAT?!!
Aku semakin dibuat tidak berkutik di tempat dudukku. Apa ini, ini apa?!
“Ngg...” Sungguh, aku bingung harus menjawab apa. “...kau tau di hatiku ini masih ada orang lain, di kepalaku ini pun masih sering aku pikirkan hingga menjadi mimpi, dan di bibir ini masih orang yang sama pula yang aku sebut dalam setiap doaku. Meskipun kami sudah memiliki jarak hampir satu tahun, tapi aku masih menyayanginya. Sampai sekarang, perasaanku masih sama seperti pertama kali aku menyadari kalau aku mencintainya. So, don’t wasting your time on me, please.LL
Aku dibuat semakin tidak enak kalau seperti ini. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku harus menjawab dengan jujur. Aku hanya tidak mau semuanya jadi sia-sia untukmu. Karena, aku sendiri tidak tahu kapan aku akan berhenti dan pindah ruang hati, aku pun tidak bisa memberikan jaminan saat aku pindah ruang, aku akan kembali untukmu. L
Laki-laki dari masa 3 tahun yang lalu itu terdiam, meskipun memberikan senyuman tipis, tapi aku tahu, ia kecewa. Jauh di dalam hati.
“Tolong, jangan sia-siakan waktumu untukku. Jangan menungguku.”kataku dengan pelan, berusaha memberikanmu pengertian. “Aku pun bukan lagi seperti aku yang kau kenal 3 tahun yang lalu. Sesungguhnya, kau bisa mendapatkan yang lebih baik lagi, kalau tidak menyia-nyiakan waktumu dengan menungguku. Jangan menyakiti hatimu sendiri selama kau bisa menghindari hal itu,”
Tidak ada respon dari seberang tempat dudukku, aku menghela nafas dan menambahkan, “Tetaplah seperti ini. Karena, aku pun akan seperti ini perihal kita sampai kedepannya. Aku harap, kau pun.” Kemudian, memberikanmu senyuman.
Subuh di hari yang sudah berganti, ucapan terima kasih untuk semuanya terucap.
Kemudian, di sore yang masih mendung seperti hari-hari sebelumnya, ia mengucapkan pamit slash perpisahan karena harus pergi kembali ke tempatnya.
Waktu selalu punya rahasianya sendiri, seperti sekotak coklat yang harus dicoba satu per satu untuk mengetahui apakah itu manis atau pahit. Satu per satu konspirasi antara waktu dengan semesta bermunculan di permukaan yang harus kita hadapi jika ingin tahu akhirnya akan berakhir seperti apa.
Mungkin akan seperti ini, entah sampai kapan. Tapi, aku percaya, satu hari nanti jalan cerita kita semua akan berubah. Perasaan pun. Kehidupan kita pun. Seutuh-utuhnya cerita kita. 

Hanya saja, yang saat ini aku tahu, aku masih seutuh-utuhnya mencintainya; lelaki yang masih berusaha membentangkan jarak dan jurang hampir satu tahun, denganku.

Fin. 

Rabu, 01 Juli 2015

Pertemuan Singkat


Kau memang tidak akan pernah tahu waktu akan membawamu kemana dan apa yang akan dibawakan. Aku tersenyum pada Christina yang menatapku dengan heran, karena seharian ini aku lebih banyak melamun daripada mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai liburannya bersama tunangannya itu.
“Ada apa denganmu, Siera? Tumben sekali kau melamun sepanjang hari.”kata Christina sambil menyesap teh hangatnya yang hampir dingin, karena udara Desember yang sanggup membuat orang berubah menjadi Snowman jika terlalu berdiri di luar ruangan dengan suhu dibawah nol derajat.
“Tidak ada apa-apa, Christina. Sungguh. Aku hanya senang memandangi salju yang mulai turun. Sebentar lagi Natal.”jawabku sambil mengedikkan bahuku.
Perempuan yang aku kenal tidak ingin terlalu cepat untuk berkomitmen itu tertawa pelan, tawa yang cukup aku kenal. Tawa menghina, namun maksudnya bercanda. “Bukan Natal yang kau tunggu, tapi hari ulang tahunmu yang kau tunggu. Karena, tiap ulang tahunmu, kau akan selalu kebanjiran hadiah yang selalu kau minta diuangkan.” Detik selanjutnya bantal sofa yang daritadi aku peluk sudah melayang ke arahnya yang kali ini benar-benar tertawa terbahak-bahak.
...tapi, apa yang dikatakannya memang benar.
Daripada keluargaku memberiku hadiah-hadiah yang akan jarang aku gunakan dan malah membuat apartemenku sesak, lebih baik mereka membuat tabunganku saja yang sesak. Kalau tabunganku yang sesak, aku bisa dengan leluasa membeli novel dan jalan-jalan kesana kemari. “Minumlah dulu tehmu sebelum tehmu berubah menjadi air beku.”canda Christina.
“Aku ingin membeli beberapa beverages. Kau mau titip sesuatu?”tanyaku sambil mengambil dompet di dalam tas tanganku.
“Tanpa aku perlu titip sesuatu, apapun yang kau bawa pasti akan selalu aku ambil, Siera. Kau selalu lupa hal kecil itu.”ledeknya sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku yang tertawa sambil berjalan ke arah etalase beverages kedai teh ini.
Mataku menelususi etalase beverages dengan tatapan mata yang sudah siap menyantap semuanya satu per satu. Setelah aku memutuskan untuk memilih yang mana, aku masuk ke antrian, yang untungnya hari ini sepi. Aku hanya perlu menunggu satu orang di depanku memesan, dan giliranku. Tunggu aku, beverages!
Sampailah giliranku untuk memesan. Pelayannya menyapaku dengan ramah dan hangat. Tapi, kurang hangat untuk menghangatkan udara dibawah nol derajat ini. Ketika aku selesai menyebutkan pesananku, aku menatap ke menu-menu yang mereka tempel di dinding di belakang pelayan yang tengah melayaniku.
Sudut mataku seperti menangkap bayangan seseorang yang tengah menatapku.
Tentu siapapun itu akan merasa jika ada seseorang yang memperhatikan.
Maka, aku pun menoleh dengan perlahan dengan wajah datar.
Dan semakin datarlah wajahku saat menatap orang yang menatapku.

Aku duduk menatap termangu ke arah luar jendela kedai teh ini. Aku meninggalkan Christina di tempat kami dengan beverages yang sudah aku belikan untuknya. Begitu melihat siapa yang mengekor di belakangku, ia langsung diam dan pura-pura membalas pesan. Padahal aku tahu, ia bukan membalas pesan, tapi tengah menyebarkan kalau aku bertemu dengan laki-laki ini di group pertemanan kami, yang sudah pasti sebentar lagi akan ramai dibicarakan di group. Dan sungguh, aku sedang malas meladeni pertanyaan mereka. Maka ponselku sengaja aku matikan.
Jika dalam 5 menit laki-laki di hadapanku ini tidak membuka percakapan, aku yang aku permisi lebih dulu. Lebih baik aku kembali ke Christina daripada duduk diam dengan batu. Rasanya terlalu canggung bagiku, karena harus dengan tidak sengaja dipertemukan dengan masa lalu.
Dulu sering kali orang berkata, masa lalu biarlah masa lalu, masa lalu bukanlah masa depan. Apa sekarang sudah berganti menjadi masa lalu akan ada kemungkinan datang ke masa depan?
“Apa kabar, Siera?” Bodoh! Masa hanya dengan mendengar ia menyebut namaku saja jantungnya sudah lompat-lompat di dalam rongga kerangkaku?
Aku berdeham untuk menetralisir suaraku. Siapa tahu mendadak berubah menjadi serak.
“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Aku bertanya balik.
“Sama denganmu. Sudah lama ada disini?”tanyanya.
“Sudah cukup lama. Mungkin dari sejak kita berpisah.”jawabku. Dan detik selanjutnya aku mengutuk diriku sendiri. Aku berharap aku bisa menghilang dari depan matanya hanya dengan satu kedipan mata! Bodohnya aku, kenapa harus mengungkit itu?! Astaga seperti tidak ada bahasan yang lain saja.
Aku bisa melihatnya sedikit menegang di tempat duduknya.
Dan...ah! Wajah itu lagi. Wajah cuek dan terlalu dingin yang dulu ia selalu tampilkan padaku, tiap kali ia berusaha menghindar dariku.
“Aku tidak bisa lama-lama disini. Ada temanku yang menunggu. Semoga harimu lancar. Aku permisi lebih dulu. Hati-hati di jalan, Fajariando.”kataku, dan berdiri dari bangkuku dan buru-buru menghilang dari pandangannya. Semakin aku menjauh dari meja tempat kami duduk, semakin aku bisa merasakan tatapannya di punggungku.
“Bagaimana pertemuan singkatnya? Woah, tunggu sebentar, wajahmu tidak terlihat ceria begitu bertemu dengannya. Ada apa? Kalian tidak bertengkar kan?”tanya Christina dengan raut wajah yang panik.
“Kalau aku bertengkar dengannya, aku tidak akan duduk disini lagi, Christina, tapi di ruang manager!”jawabku dengan ketus, yang anehnya malah membuatnya tertawa mendengar jawabanku yang menurutku tidak ada lucunya sama sekali. “Kau benar juga, Siera.”jawabnya disela tawanya. Astaga! Masih sempatnya ia membenarkan jawabanku, disela tawanya yang kurasa sanggup membuatnya sesak nafas kalau tidak berhenti.
Perlahan-lahan tawanya mulai mereda. Kupikir kami akan berlaih ke topik lainnya, karena ia mulai menarik nafas dalam-dalam,“Jadi, bagaimana?”
Shit. Memang cuma Christina yang sanggup membuatku mendadak terserang stroke.

Benar saja begitu aku menyalakan ponselku, notifikasi groupku tidak ada hentinya hingga akhirnya aku menjejalkan ponselku ke dalam laci meja kerjaku yang kini sudah seperti tempat percetakan buku, dengan kertas-kertas yang bertebaran dimana-mana.
Aku menumpukkan kepalaku diatas meja dengan ditahan kedua tanganku yang menyangga kepalaku. Seakan-akan kepalaku siap untuk terjun bebas dari badanku jika tidak aku sanggah. Kalau tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan seperti ini. Christina sampai bolak-balik mengecek keadaanku. Masih berada di bilik kerjaku atau mungkin sudah mendekati jendela di belakangku ini, untuk mencoba terjun bebas.
Bagaimana bisa kau tidak kepikiran ketika masa lalumu tiba-tiba muncul di masa sekarang setelah kau tinggalkan sejauh-jauhnya? Bagaimana bisa kau tidak gila ketika bertemu dengan laki-laki yang masih bisa membuat jantungmu berdebar tidak keruan, seperti anak SMP yang tengah jatuh cinta pertama kali? Astaga, aku sendiri heran dengan diriku sendiri. Sungguh.
“Lebih baik kau bereskan barang-barangmu dan pulang ke apartemenmu, lalu tidur.”kata Christina dengan wajah khawatir.
“Untuk apa?”tanyaku sambil mengernyitkan keningku.
“Untuk apa?! For God sake, Siera! Kau masih bertanya ‘untuk apa’ padaku? Kau sudah seperti mayat hidup dan kau masih bertanya ‘untuk apa’? Kau benar-benar kehilangan jiwa, ya?” Tiba-tiba Christina meledak di depanku dengan segala celotehannya barusan. Aku hanya menanggapinya dengan setengah terkekeh dan menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
“Baiklah, baiklah aku menyerah. Aku akan pulang sekarang.”kataku sambil mengangkat kedua tanganku dan buru-buru membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas.
Pekerjaanku sebagai editor membuatku tidak dituntut harus berada di ruang kerja terus. Pekerjaan yang fleksibel sebenarnya. Sehingga aku bisa pulang kapan saja dengan membawa setumpuk file yang harus aku kerjakan tentunya.
“Dan tolong, Siera, jauhi balkon apartemenmu!”kata Christina memperingatkan.
“Kenapa?”tanyaku, kali ini aku benar-benar bingung dengan peringatannya.
“Aku hanya tidak mau menerima telepon dari pengurus apartemenmu karena menemukanmu di lantai dasar, tergeletak penuh darah, dan sudah tidak bernafas. Atau malah mungkin –“
“Christina, sepertinya kau harus segera berhenti menonton drama Korea. Otakmu sudah mulai keracunan drama sepertinya. Aku pulang lebih dulu ya, titip salam untuk yang lain.” Aku buru-buru memotong kalimatnya sebelum semakin di dramatisir olehnya, sambil menggelengkan kepalaku dan tertawa kecil.
Perempuan itu hanya memberengut di tempat berdirinya.

Aku bersandar di pagar balkon apartemenku dengan segelas susu hangat. Padahal salju sudah mulai turun, aku malah berdiri disini. Aku mengeluarkan ponsel dari saku jaketku. Menekan tombol play di videoku dengannya yang kami rekam bersama-sama beberapa tahun yang lalu. Sebelum video itu selesai, aku sudah mematikan ponselku dan buru-buru memasukkannya ke dalam saku jaket.
Aku terlalu merindukannya.
Aku terlalu ingin memeluknya.
Aku terlalu ingin bersamanya meski hanya untuk sebentar.
Melihat sikapnya tadi siang, aku rasa tidak ada harapan lagi untuk bisa seperti dulu walau hanya sebentar. Mau dibilang tidak ingin bertemu dengannya mendadak seperti siang tadi, bisa dibilang aku bohong. Tapi, untuk bertemu dengannya bagaimana lagi selain mendadak seperti itu?
“Siera?”
“Fajariando?”
Kami saling menyebutkan nama lawan bicara kami bersamaan. Aku hanya bisa mengulum senyumku saat aku buru-buru keluar dari antrian, dan diikutinya.
“Duduk minum?”tanyanya menawarkan.
“Baiklah. Tapi, aku harus ke meja temanku dulu utnuk mengabarinya. Kau silakan memilih tempat duduk, nanti aku susul.”kataku sambil mengambil beverages yang aku pesan, sementara ia mengambil tehnya.
“Tidak. Aku ikut denganmu saja.”jawabnya dengan tegas.
Aku hanya mengedikkan bahuku dan berjalan mendahuluinya menuju mejaku dan Christina. Aku bahkan tidak perlu repot-repot memperkenalkan dirinya, karena ia sendiri sepertinya tidak berniat untuk berkenalan karena ia hanya berdiri mematung di belakangku. Seperti anak kecil yang mengekor Ibunya kemana-mana.
Setelah main mata dengan Christina, barulah aku pergi sebentar dengannya untuk mencari tempat duduk di sudut lain kedai ini. Yang pasti, sudut lain kedai ini yang jauh dari Christina supaya dia tidak bisa nakal mengambil fotoku sedang berdua dengannya dan menyebarkannya di media sosial atau di group. Aku hanya tidak suka menjadi pusat perhatian. Mengganggu.
Jari-jariku ini sudah nakal ingin mengirim pesan padanya sekadar bertanya dalam rangka apa ia ada disini. karena, setahuku ia tidak berdomisili disini. Tapi, lagi-lagi rasa tidak enakku menahan jari-jariku untuk mengetik pesan. “Untuk apa, Siera? Seperti dia mengharapkanmu untuk menghubunginya saja,”kataku pada diriku sendiri.
Sebelum tidur, aku menyerah pada rasa tidak enakku dan terkirimlah pesanku untuknya. Sudah tidur?
“Pesan macam apa itu? Bertanya sudah tidur atau belum disaat jam 12 malam?”gerutuku pada ponselku yang sudah memberikan notifikasi terkirim.
Langsung aku matika ponselku dan menyimpannya di laci rak lampu tidurku dan langsung bergelung di dalam selimut. Berharap ia sudah tidur.

Belum. Ada apa?
Argh! Kenapa aku matikan ponselku semalam?! Dia langsung membalas pesanku padahal. Beginilah jalan pikiran perempuan.
Maaf semalam aku ketiduran. Hari ini kau sibuk?
Dengan perasaan was-was aku mengirim pesan balasanku.
Setiap dering penanda pesan masuk, aku selalu melompat kaget dan buru-buru mengeceknya. Tapi, hingga menjelang jam pulang kantor aku tidak juga mendapatkan pesan balasan.
TING!
Tanganku dengan malas-malasan merogoh laci meja kerjaku.
Maaf, aku seharian ini sibuk. Ada apa?
Aku memberanikan diriku untuk mengetik pesan balasannya.
“Jangan terlalu cepat membalasnya, darling! Kau sudah dibuatnya menunggu setengah abad!”teriak Christina dari biliknya. Aku langsung mencibir kesal. Tapi, perempuan itu memang ada benarnya juga.
...tapi, tidak setengah abad juga. Hanya setengah hari.
“Biarin!”teriakku dari bilikku.
“Dasar perempuan!”teriaknya lagi.
Please your mirror, darling!”balasku dengan senyum meledek, yang ia balas dengan cibiran.
Have a dinner together tonight?
Saling berteriak dengan Christina ternyata cukup menghabiskan waktu 15 menit.
Lumayan. Setidaknya tidak jeda satu menit aku langsung membalasnya.
Aku paling tidak suka menunggu saat harus memberi jeda waktu hanya untuk membalasnya.
Oke. Where? At what time?
Aku menghela nafas membaca pesan balasannya. Terlalu cuek. Seperti dulu.

“Hai,”sapaku begitu menghampirinya di lobby kantorku.
“Hai juga. Sudah siap?”tanyanya sambil berdiri dari tempat duduknya.
Aku menjawabnya dengan anggukan.
Kami berjalan menuju luar kantor dan bermaksud menyebrang. Karena, ia tidak membawa kendaraan, jadi aku sarankan untuk makan di dekat kantorku, berhubung aku tahu tempat makan yang pas dan posisinya pun tidak jauh dari kantorku jadi ia bisa berjalan kaki ke kantorku. Saat kami hendak menyeberang, ia menggandeng tanganku. Dan nafasku berhenti di udara saat itu juga.
Ya Tuhan, rasanya masih seperti dulu.
Ingatanku kembali ke kejadian beberapa tahun lalu, saat awal-awal kami dekat.
“Aku lapar, om. Makan yuk?”ajakku setelah membeli tiket film.
“Ayo. Aku juga belum makan. Makan di depan aja ya. Biar nggak perlu keluarin motor lagi.”katanya
“Iya, nggak apa-apa. Yang penting kita makan.”
Dan ternyata kami harus menyeberang tanpa zebra cross. Aku sebenarnya bisa menyeberang, hanya saja aku tidak bisa tiba-tiba memotong jalan begitu saja saat sedang ramai. Lalu, tiba-tiba ia pindah ke sampingku tempat datangnya mobil dan menggandeng tanganku selama menyeberang. Menggenggam dengan erat. Seakan-akan takut aku tersangkut di spion kendaraan orang.
Nafasku berhenti sejenak, karena kaget dan...rasanya terlalu nyaman.
Begitu ia melepaskan genggamannya, barulah nafasku kembali.
“Hei? Jangan melamun. Kebiasaan,”katanya sambil menggelengkan kepalanya.
Kali ini tidak tangannya lagi dalam genggaman tanganku. Kini kedua tangan itu sudah terselip masuk ke dalam saku jaketnya yang tebal.
“Tanganmu dingin sekali, Siera. Kau tidak membawa sarung tanganmu?”tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng dan merutuki kebodohanku dengan meninggalkan sarung tanganku di dalam laci. Padahal biasanya aku langsung memasukkannya ke dalam tasku.
Ia mengeluarkan tangganya dari saku yang ternyata sudah menyiapkan sarung tangan. “Pakai ini,”katanya sembari menyorongkannya ke arahku.
Aku menatapnya dengan bingung. “Lalu, kau tidak pakai?”
“Apakah kau melihatku memakai sarung tangan daritadi?”jawabnya dengan balas bertanya.
“Kalau kau tidak pakai, aku pun tidak.”jawabku bersikeras.
“Astaga, Siera! Kau ini dari dulu sampai sekarang masih aja keras kepala. Sepanjang perjalanan ini kita hanya akan berdebat soal sarung tangan? Yang benar saja,”katanya setengah tertawa, mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Tawa pertama yang aku dengar sejak pertemuan pertama kami. Menenangkan rasanya.
“Kau mengerti aku dari dulu sampai sekarang pun, Fajariando.”kataku setelah tawa kami reda.
“Kau pun, Siera. Jadi, pakai saja, Siera. Aku tidak ingin kau masuk angin dan malah tiba-tiba diare karena kedinginan. Aku tidak ingin kita menjadi tontonan orang-orang, hanya karena kita berdebat soal sarung tangan.”
Aku tergelak, “Hei! Yang sering diare itu kau, bukan aku. Enak saja.”
Lagi-lagi laki-laki disampingku ini tertawa. “Baiklah begini saja. Kau pakai satu, aku pakai satu.”katanya, memberi solusi. Ia menunggu aku memakai sarung tanganku. “Pakai sebelah kiri,”pintanya, yang membuatku kebingungan namun tetap aku turuti. Lalu, ia memakai sarung tangannya di tangan kanan.
Belum reda kebingunganku, ia menarik tangan kananku dan menggandengnya, lalu menyelipkan tangan kami ke dalam saku jaketnya yang ternyata memang hangat.
Sekali lagi, nafasku melayang diudara.
Mataku rasanya sudah mulai memanas. Aku hanya tidak ingin menangis disini. Aku tidak ingin menghancurkan momen ini.
Aku menatap ke arahnya sambil tersenyum lebar, seperti biasa yang aku lakukan tiap kali aku terlalu senang.
“Begini kan lebih adil,”kataku dengan santai. Ia terkekeh mendengar kalimatku.

Aku hanya tidak ingin momen ini segera selesai.
Makan malam terbaik yang pernah aku rasakan. Padahal ini hanya makan malam biasa dengan obrolan-obrolan ringan. Malah seperti kami bernostalgia yang dulu. Dan ia terheran-heran dengan memoriku yang masih ingat apa-apa saja yang kami lakukan, hingga ke tiap kalimat-kalimat yang ia ucapkan. Tiap, sudut jalan selalu ada cerita kecil tentang kami dan aku masih mengingatnya dengan jelas.
“Om, sebenarnya kau merasa nyaman atau tidak selama denganku?”tanyaku tiba-tiba.
“Sejujurnya, iya aku merasa nyaman denganmu. Oh, aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku, ya?”jawabnya dengan tenang sambil menatap mataku.
Aku terkekeh. “Kok bisa ya? Apa yang bikin kau nyaman denganku? Iya, kau ini terlalu pintar menyembunyikan perasaanmu, om.” Aku benar-benar penasaran setengah mati.
“Kau itu bawel, demi apapun, Siera. Tapi, bawelmu itu yang bikin aku nyaman. Mungkin, buat kebanyakan laki-laki bawel perempuan itu annoying, tapi buatku bawelmu itu buat aku nyaman. Meskipun kadang bawelmu itu suka tidak pada tempatnya, saat aku lagi kesal kau malah semakin bawel. Rasanya aku pengen menggulingkanmu saat itu juga,”jawabnya panjang lebar, dan malah membuatku tertawa. “Kau malah tertawa lagi.”katanya dengan heran namun ikut tertawa.
“Kalau aku mendengar jawabanmu itu dulu, mungkin aku bakal sedih. Tapi, sekarang malah rasanya lucu. Coba saja kau bayangkan, kau sedang kesal lalu aku bawel setengah mati, tiba-tiba kau menggulingkanku. Bukannya aku marah-marah, malah aku bisa tertawa di depanmu, om.”kataku setelah tawaku reda.
Ia pun tertawa saat aku menjawabnya.
“Om, kau pernah sayang sama aku?”tanyaku lagi.
Ia terdiam, lalu menatapku. Dengan mantap ia menjawab, “Pernah, Siera. Tapi, itu dulu.”
“Sebagai perempuan, bukan sebagai adik atau teman?”
“Iya, sebagai perempuan.”jawabnya sekali lagi dengan mantap.
Aku tersenyum. Entah mengapa ada perasaanku yang lega dan tenang, saat mengetahui ia pernah sayang padaku sebagai seorang perempuan. Sangat lega dan tenang.
“Kau kenapa baru bertanya sekarang, setelah sekian lama kita tidak bertemu? Bukannya dulu saat masih beberapa kali bertemu?”tanyanya.
“Dulu, aku belum siap dengan jawabanmu. Aku takut kau akan menjawab ‘tidak’. Sekarang, aku rasa aku sudah siap untuk mendengar jawabanmu, yang ternyata berbanding terbalik dengan pikiranku.”
“Pikiranmu itu kan memang selalu seperti itu, Siera.”jawabnya setengah terkekeh.
Lagi-lagi aku tersenyum. Kau memang mengenalku dengan baik, gumamku dalam hati.
“Bagaimana dengan perasaanmu selama ini, Siera?”tanyanya. Sepertinya kali ni giliran dirinya yang bertanya-tanya padaku.
“Aku masih sayang padamu. Hingga sekarang. Aku tidak mau membohongi perasaanku, om. Rasanya lelah kalau harus membohongi perasaan sendiri.”jawabku dengan mantap dan menatap matanya, lalu tersenyum tipis.
“Kau tidak dekat dengan siapapun selama ini?”tanyanya dengan kening yang berkerut.
“Tidak ada. Aku merasa santai-santai saja dan nyaman-nyaman saja dengan seperti ini.”jawabku sambil mengedikkan bahuku dengan tidak acuh.  “Kau pasti sedang dekat dengan seseorang ya?”tebakku.
Ia tersenyum tipis. Senyum yang selalu aku gemari.
Ia mengantarku hingga depan pintu apartemenku.
“Singgah, om?”tawarku. Aku hanya tidak ingin waktuku bersama dengannya segera habis. Aku bertemu dengannya hanya sebentar sekali, dari sekian tahun aku tidak pernah bertemu dengannya. 4 tahun. Bukan waktu yang sebentar.
Ia diam. Ia menarik nafas dalam-dalam. Tangannya terjulur ke kepalaku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Rasanya aku ingin menangis saat itu juga. Usapan yang dulu pernah ia berikan saat kami pulang dari jalan-jalan jauh kami setelah ulang tahunku, yang aku maksudkan untuk mengungkapkan perasaanku, namun malah gagal total. Malah semalam sebelum berangkat.
Ia menatap mataku dalam-dalam. “Maaf, Siera. Ada perasaan yang harus aku jaga. Aku tidak ingin saat aku jauh darinya, ia melakukan hal yang sama. Kita sekarang teman. Nanti, saat aku kembali kesini, kita bisa pergi seperti tadi. Maaf sudah bersikap tak acuh di awal pertemuan kita. Masuklah lebih dulu.”
Aku terdiam. Lalu, aku tersenyum dan membuka kedua lenganku, pun begitu dengannya. Aku langsung menghamburkan diriku ke dalam pelukannya dan memeluknya erat.
“Terima kasih, om.”kataku.
“Kembali kasih. Selamat malam. Selamat istirahat, Siera.”
“Hati-hati di jalan. Selamat istirahat, Fajariando.”kataku lalu masuk ke dalam apartemenku. Detik selanjutnya, aku tidak bisa menahan tangisku lagi. Aku jatuh terduduk dengan bersandar di pintu apartemenku dan menangis.

Setelah makan malam beberapa pekan lalu, aku mendapat pesan darinya yang pamit pulang karena pekerjaannya disini sudah selesai. Dan ia tidak bisa berjanji kapan ia akan kembali kesini. Yang ia katakan, hanya kalau ia kembali kesini, kami pasti akan bertemu lagi.
Dan ada satu hal yang aku tangkap dari mataku saat ia mengusap kepalaku waktu itu. Ia sudah mengenakan cincin dengan lingkar yang kecil di jari manisnya. Siapapun wanita itu, aku hanya ingin ia membahagiakannya. Dan itu sudah pasti. Siapapun wanita itu, ia adalah wanita yang beruntung. Setidaknya, aku pun merasa beruntung sempat memiliki cerita pula dengan laki-lakinya yang kini sedang dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
“Siera, jalani saja prosesnya. Kau hanya perlu untuk mulai membiasakan dirimu lagi, seperti dulu. Seperti selama 4 tahun ini.”kata Christina di penghujung bulan Januari, saat melihatku hampir selama sebulan sejak kepulangannya seperti mayat hidup berjalan, sementara nyawanya melayang-layang entah dimana. Aku hanya perlu bersyukur aku tidak sampai diopname karena nafsu makanku yang turun.
Aku hanya tersenyum tipis.
“Kalian berdampingan, tapi yang perlu kau tahu, kalian berada di jalur yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Kau harus ingat itu, sayang.”katanya lagi, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Untuk selama 4 tahun, terkalahkan dengan pertemuan singkat kami. Dan pertahananku pun hancur dalam sekejap mata. Dan tangisku pun meledak di dalam pelukan Christina.

Terima kasih, om.
Terima kasih untuk semuanya.
Terima kasih untuk pernah singgah.
Aku menunggu kabar singgahmu di lain waktu.
Aku harap saat itu, kita sudah dengan perasaan kita masing-masing.
Biarlah untuk saat ini, memang masih ada kau di hatiku.
Tapi, percayalah, suatu saat nanti akan ada seseorang yang menggantikan posisimu di sampingku.
Terima kasih sudah pernah membuatku bahagia dan aku tahu, kau akan selalu membuatku bahagia dengan hal-hal kecil sekali pun.
Sampai bertemu di waktu yang lain dengan cerita yang berbeda.

Fin.